Sabtu, 31 Oktober 2015 | | 0 komentar

Kematian Ayah

Kami akan memaparkan bab ini dalam tiga bagian. Pertama, berkenaan dengan perasaan seorang anak terhadap ayahnya. Di sini kami akan memaparkan apa sebenarnya yang terdapat dalam benak seorang anak mengenai ayahnya, sampai sejauh mana ikatan di antara keduanya, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Kita semua tentu telah mengetahui bahwa seorang anak akan menganggap sosok ayah sebagai pemimpin yang memenuhi berbagai keperluannya, memberinya perlindungan dan keamanan, memberinya hukuman dan peringatan, memberi kehangatan suasana dalam kehidupannya, dan merasa bangga atas keberadaannya.
Sedangkan pada bagian kedua, kami akan membahas bagaimana perasan seorang anak dalam menghadapi kematian. Kami juga akan menjelaskan bagaimana gambaran dan pandangan seorang anak pada berbagai tahapan usianya mengenai kematian dan pengaruh kematian orang yang tercinta terhadap jiwa dan kepribadiannya. Bagaimana cara menenangkan anak yang ditinggal mati ayahnya, apa ungkapan yang mesti kita gunakan dalam menjelaskan kematian dan kesyahidan, dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimana yang harus kita ungkapkan, juga akan kami bahas.
Pada bagian ketiga, kami akan berupaya membahas pengaruh kematian ayah bagi seorang anak, dalam hal perilaku, sikap, dan aktivitasnya. Kami juga akan mengemukakan berbagai cara meringankan rasa sedih dan duka yang dialami- nya.


Perasaan Anak terhadap Ayah

Manusia, kurang lebih selama sembilan bulan, berada dalam kondisi khusus dan menjalani kehidupannya dalam bentuk janin di dalam rahim ibu. Dengan demikian, ia merupakan bagian dari tubuh sang ibu dan telah terbiasa serta memiliki hubungan yang erat dengan detak jantung ibunya. Ia telah menyatu dengan darah dan berbagai cairan yang terdapat dalam tubuh belahan hatinya itu.
Pasca kelahiran pun, sang anak masih memiliki keterikatan dalam rentang waktu cukup lama dan selalu berada dalam pelukan sang ibu. Ia senantiasa berkomunikasi dengan jiwa dan perasaan ibunya melalui perantaraan air susu ibu (ASI), indera, dan sentuhan tubuh. Selama bayi hidup dalam bentuk janin, sang ayah tidak memiliki peran terhadapnya. Bahkan beberapa minggu setelah kelahiran pun, ayah tetap tak memiliki peran yang berarti terhadap kehidupan anak. Baru pada bulan kedua atau ketiga setelah kelahiran, sang bayi akan mulai mengenali ayahnya. Ya, sejak saat itu sang bayi akan berupaya mengenalinya lebih jauh.
Tampaknya, memang masih terlalu dini bagi seorang bayi untuk dapat memiliki hubungan yang dekat dengan individu semacam ini (ayah), apalagi memahami peran dan jasanya. Sebelum mengenal wajah ayahnya, sang bayi akan terlebih dulu mengenali suara dan belaiannya, yang berbeda dengan yang diperoleh dari ibunya.
Penerimaan dan perkenalan dengan sang ayah berlangsung secara bertahap dan sedikit berangsur-angsur. Dengan berlalunya waktu, keadaan tersebut akan terbentuk. Memang, landasan kehidupan seorang anak adalah kedekatan dengan ibunya. Namun, ini bukan berarti bahwa peran ayah terhadap seorang anak sama sekali tidak penting atau bahkan tak berperan. Setelah masa itu, mungkin kita akan memahami bahwa peran seorang ayah dalam menetapkan peraturan dan tatatertib jauh lebih besar ketimbang ibu, kalau tidak sebanding.

Keterikatan dengan Ayah

Secara perlahan, kemampuan seorang anak akan semakin tumbuh dan berkembang. Ini ditandai kemampuannya berbicara, berjalan, berkomunikasi, dan akrab dengan orang lain, atau dengan kata lain, “mulai bermasyaraka”. Di usia dan keadaan semacam itu, ia akan rnulai mengenali wajah ayahnya dengan baik dan merasakan bahwa keberadaan seorang ayah merupakan sesuatu yang amat berharga. Ya, ia mulai memiliki keterikatan dengan ayahnya.
Bentuk dan kadar keterikatan seorang anak dengan ayahnya sangat dipengaruhi berbagai faktor, yang terpenting di antaranya adalah sering-tidaknya kehadiran sang ayah di rumah. pola hubungan dan komunikasi, penyediaan waktu untuk ber- main dan berbincang dengan mereka, suasana saling pengertian dan memaklumi, keikutsertaan dalam berbagai aktivitas anak agar merasa sehati dan sejiwa, serta pemenuhan permintaan dan keperluan anak pada masa pertumbuhan. Rasa kasih sayang yang disertai ketegasan seorang ayah, akan menumbuhkan ketelitian dan kehati-hatian pada diri anak dalam bertindak dan melangkah.
Ya, dalam beberapa keadaan, lantaran teguran sang ayah, boleh jadi seorang anak akan membenci ayahnya. Ia akan rnen- jauhkan diri sehingga tak rnernperoleh kasih sayang sang ayah. Sebenarnya, jiwa si anak menolak untuk memisahkan diri dari belahan hatinya itu. Sekalipun telah memperoleh teguran dan perlakuan kasar ayahnya, ia tetap suka dan berharap untuk selalu berada di bawah naungan perlindungan ayahnya. Kita mungkin pernah menyaksikan anak-anak yang diusir ayahnya. Selang beberapa saat kemudian, mereka akan kembali kepada ayahnya. Sebab, anak-anak adalah pribadi yang mudah me- relakan dan merupakan perwujudan sifat Allah yang cepat merasa ridha. Ya, dengan sedikit kasih sayang saja, anak-anak akan terikat dengan seseorang dan dengan masalah yang sepele pun, ia akan langsung menampakkan permusuhannya.



Pandangan Anak akan Sosok Ayah

Masalah pandangan anak terhadap ayahnya―yakni bagaimana perasaannya terhadap sosok ayahnya―perlu ditelaah masalah yang memerlukan pengkajian dan penelitian yang luas dan mendalam. Berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang dilakukan, diperoleh data sebagai berikut:

1. Pemimpin dan teladan
Anak sangat cepat memahami bahwa ayahnya adalah pemimpin dan penanggungjawab keluarga. Ia yang mengeluar- kan peraturan, memerintah, melarang, mewujudkan yang disuka, dan menolak serta mengubah apa yang menurutnya tidak benar.
Anak menganggap sang ayah sebagai pahlawan, yang semua perbuatannya luar biasa dan mencengangkan. Semua itu berdasarkan kekuatan dan kemampuannya. Ia yang berhak men- jatuhkan hukuman, menentukan jenis balasan dan hukuman, serta pembuat peraturan dan tata tertib. Anak meyakini bahwa ayahnya merupakan sosok yang paling kuat dan perkasa. Semua perbuatan sang ayah didasarkan pada pertimbangan yang benar dan menginginkan pertimbangannya diterima orang lain. Ayah adalah teladan, contoh, dan “berhala”. Apapun yang dikatakannya pastilah benar dan jujur. Semua yang dilakukan- nya adalah layak dan terpuji. Oleh karena itu, si anak akan berusaha meniru perbuatan dan perkataan ayahnya.

2. Memenuhi berbagai keperluan
Sejak masa kanak-kanak, seorang anak akan senantiasa menyaksikan usaha dan aktivitas ayahnya. Ia dapat me-nyaksikan ayahnya yang di pagi buta bangun dari tidur dan berangkat menuju tempat kerjanya. Sore atau malam hari, dengan tubuh letih dan lelah, sang ayah kembali ke rumah. Manakala ia menanyakan kepada sang ayah atau ibunya, ia akan memperoleh jawaban bahwa semua itu untuk menyediakan makanan baginya, untuk memenuhi keperluan hidupnya.
Sejak masa kanak-kanak, si anak telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa seluruh anggota keluarga menggantungkan keperluannya kepada sang ayah. Ia dapat melihat ayahnya yang setiap hari datang dengan membawa roti, buah-buahan, dan berbagai keperluan rumah tangga lainnya. Ayahlah yang menyediakan pakaian, sepatu, mainan, dan seterusnya.
Adakalanya, anak-anak memiliki persepsi bahwa ayahlah yang mencukupi keperluan hidup mereka. Jika tak ada ayah, maka takkan ada roti dan makanan lainnya. Tanpa ayah, takkan ada permen, coklat, es krim, dan kue. Hanya ayah yang me- menuhi keperluan rumah tangga. Ini sebagaimana yang disabda- kan Rasulullah saww, “Dan mereka menganggap bahwa sesungguhnya kalianlah yang memberikan rizki kepada mereka.”(Makârim al-Akhlâq)

3. Menjamin keamanan
Persepsi anak mengenai ayahnya adalah bahwa sang ayah itu merupakan penjamin keamanan anggota rumah tangga dan pelindung utama mereka. Pabila marabahaya mengancam, ia akan memberikan perlindungan dan semua mesti bersembunyi di belakangnya. Bila terdapat angin topan yang menakutkan, gemuruh yang mengguntur, atau suara bom yang menyentak- kan, mereka tak perlu merasa takut selagi sang ayah berada di rumah.
Juga, terdapat persepsi bahwa sang ayah merupakan pembela utama keluarga. Jika di sudut kampung atau di jalan raya, anak mendapatkan gangguan dari seseorang, maka ayah- lah yang akan melawannya, karena itu, orang tersebut mesti diadukan kepada sang ayah. Lantaran itulah, ia dapat berlalu-lalang di jalanan dengan tenang dan tanpa rasa takut.
Bila ayah di rumah, tak ada masalah baginya sekalipun mesti berjalan di tempat gelap atau menghadapi bahaya. Ayahlah yang akan mengatasi semuanya. Ayah merupakan sosok yang menjadikannya dapat tidur tenang dan tenteram. Jika ada orang yang bemiat jahat, maka dengan teriakan sedikit saja sang ayah akan segera datang dan menghantam orang jahat tersebut hingga jatuh tersungkur.

4. Kekuatan dan pengawasan
Di mata anak, seorang ayah merupakan pusat kekuatan, tempat bergantung, dan faktor utama bagi terwujudnya ketertiban dalam rumah tangga. Berkat kehadiran ayah, tak seorang pun berani membangkang dan bertindak tak bajik. Sebab, ia akan menjatuhkan hukuman dan balasan, sebagai- mana juga akan memberikan imbalan terhadap perbuatan mulia. Dengan demikian, setiap anggota rumah tangga, tatkala berada di hadapan sang ayah, mesti bertindak dan bersikap rasional serta tidak melakukan kesalahan. Perilaku dan perbuatan mereka mestilah mengikuti tatatertib dan ketentuan yang telah ditetapkan sang kepala keluarga.
Anak juga memiliki persepsi bahwa ayahnya merupakan orang yang adil dan bijak. Ia takkan menyakiti atau memukul seseorang tanpa alasan. Ia berperan sebagai pengawas dan penilik dalam kehidupan rumah tangga. Jika ada yang berlaku tak patut, ia akan memberikan hukuman. Anak juga ber- keyakinan bahwa sang ayah tidaklah membedakan antara yang satu dengan yang lain. Anak meyakini, tak mungkin ayahnya akan mencium anaknya yang satu dan tidak bagi yang lain. Semua perbuatannya pasti didasarkan pada neraca keadilan dan pertimbangan. Ya, sang ayah takkan melakukan diskriminasi.

5. Pemberi imbalan dan hadiah
Anak-anak akan memiliki persepsi bahwa sang ayah pasti akan memberikan imbalan atas upaya-bajik yang telah dilakukan anggota keluarga sebagaimana ia juga akan menghukum pelaku keburukan. Dalam pandangannya, tak ada suatu perbuatan bajik pun yang takkan memperoleh imbalan. Ia pasti memberikan hadiah atas berbagai perbuatan bajik dan terpuji. Paling tidak, ia akan memberikan pujian dengan mengatakan, “Bagus ...bagus, hebat!”
Sang ayah akan lebih banyak memuji ketimbang meng- hukum, lebih banyak memberikan imbalan daripada memukul, dan lebih besar rasa kasih sayangnya dibanding kemarahannya. Dari sepuluh pujian, mungkin hanya sekali saja ia marah. Itupun lantaran ia melihat kesalahan yang cukup banyak. Ia akan lebih sering berbincang dengan kata-kata manis nan indah, namun sedikit mencela. Berdasarkan itu, maka sang ayah merupakan sosok pribadi yang mulia. Tak seorang pun yang seperti ayahnya. Bila sepuluh kali melakukan kesalahan, ayahnya akan memaafkan dan jika sekali saja melakukan kebajikan, sang ayah akan mencurahkan kasih sayang dan pujiannya.

6. Faktor penghangat suasana rumah tangga
Dalam benak seorang anak, ayahnya merupakan figur yang amat baik, mulia, menyenangkan, mernbahagiakan, penuh dengan kisah-kisah indah, dan memiliki berbagai bentuk permainan yang menyenangkan dan mendidik. Ia akan me- nyuguhkan keriangan dan kegembiraan, mengetahui hal-hal yang tak diketahui, serta menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia memang mengetahui segalanya.
Dalam pandangan seorang anak, ayahnya paling pandai di muka bumi ini. Ia mengetahui semua hal tentang padang pasir, jalan raya, laut, hutan, dan seterusnya. Ia mengetahui berbagai kisah yang berhubungan dengan semua itu. Ia juga mampu menggembirakan orang lain dalam waktu lama. Sekalipun sakit―sakit hati ataupun sakit kepala―ia akan berbincang, berkisah, dan bergurau sampai si anak merasa puas. Oleh karena itu, sang ayah mesti dicintai.

Keterikatan berdasarkan Jenis Kelamin

Anak-anak, dalam situasi dan kondisi apapun, laksana anak merpati yang amat senang berada di bawah sayar induknya (yang betina maupun jantan). Keterikatan ini merupakan sarana bagi terwujudnya kehangatan suasana dan kebahagiaan sang anak.
Kita mengetahui bahwa keterikatan dengan seseorang yang kuat dan perkasa, akan menimbulkan kekuatan dan perasaan memiliki kekuatan, dan anak-anak menginginkan kekuatan yang demikian. Dalam masalah keterikatan akan kekuatan ini, tidak brbeda antara anak perempuan dan laki-laki. Namun, bentuk keterikatannya berbeda-beda berdasarkan kebudayaan dan tradisi yang berlaku di tengah masyarakat. Biasanya. anak laki- laki memiliki keterikatan dengan ayahnya, dan bentuk keterikatan ini secara terang-terangan diperlihatkan pada orang lain. Anak perempuan juga memiliki keterikatan tersebut, namun tersembunyi dan selalu disembunyikan dari pandangan umum.
Di sekolah dan lingkungan masyarakat, anak-anak biasanya mengadakan berbagai pembahasan dan evaluasi mengenai ayah dan ibu mereka. Masing-masing berupaya untuk menyatakan bahwa ayahnyalah yang paling berhasil. Mereka akan merasa lega bila dapat memberikan argumen dan bukti akan pernyataannya itu. Kebiasaan ini lebih sering terjadi tatkala sang anak berumur lebih dari sembilan tahun.
Jika sang ayah tertimpa suatu musibah, anak laki-laki akan merasa sedih dan menderita, namun anak perempuan hatinya jauh lebih pedih lagi, akan teramat sedih bahkan meneteskan air mata. Ia merasa terpukul lantaran tak mampu menolong ayahnya. Ya, anak perempuan lebih memperhatikan dan melindungi ayahnya serta merasa bahwa hanya dirinyalah yang layak merawatnya, bukan orang lain. Mungkin, munculnya perbedaan sikap ini lantaran perempuan lebih dikuasai perasaannya, tidak sebagaimana laki-laki.

Rasa Kagum dan Bangga

Mungkin, sebagian ayah tidak mencampuri urusan pekerjaan anak-anaknya. Namun, mereka tetap memiliki keterikatan dengan ayahnya. Rahasia masalah ini adalah bahwa anak akan merasa bangga dan bahagia tatkala selalu berada di bawah naungan dan ayahnya.
Biasanya, anak memiliki anggapan bahwa ayahnya me- rupakan manusia paling baik dan mulia. Ia akan selalu berusaha memamerkan kepribadian ayahnya itu kepada orang lain. Rasa bangga ini menumbuhkan rasa berani pada diri anak dalam melangkah dan melakukan berbagai aktivitas. Jiwanya senantiasa akan riang gembira lantaran merasa dirinya tidak sendirian dan selalu memiliki pelindung serta pembela.
Adakalanya, anak terlalu berlebihan dalam menilai ayahnya. Bahkan, penilaian dan anggapan ini sampai mengganggu perasaan dan angan-angannya. Misalnya saja, seorang anak yang memiliki gambaran bahwa ayahnya memiliki tubuh lebih tinggi, tangan lebih panjang, kepala lebih besar, harta lebih banyak, dan ilmu serta akal lebih sempurna ketimbang orang lain. Anggapan dan perasaan semacam ini, dapat menyebabkannya menyimpang jauh dari kenyataan sehingga tak mampu membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Menurut hemat kami, rasa bangga dan kagum terhadap ayah merupakan sesuatu yang baik dan wajar. Namun, fanatisme berlebihan adalah keliru. Setiap anak memang mesti merasa bangga dan bahagia manakala memiliki ayah yang senantiasa berada di sampingnya. Dengan begitu, ia akan melihat sosok seorang ayah sebagai sebuah kebanggaan. Namun tentunya, berlebihan dalam hal tersebut adalah tidak tepat.

Ayah yang Bagaimana?

Tak ada salahnya bila kita meneliti pandangan dan perasaan semacam itu dalam diri anak. Namun, apakah setiap ayah mampu membawa pengaruh yang sedemikan rupa terhadap diri anak-anaknya? Jawabannya tentulah negatif. Memang, sedikit-banyak seorang ayah memiliki pengaruh demikian dalam hati anak-anaknya. Namun, pengaruh yang mampu membentuk pemikiran semacam itu (kagum dan bangga akan sang ayah) tentulah memerlukan kondisi tertentu, di antaranya:
1. Hubungan antara ayah dan anak mestilah sedemikian rupa sehingga senantiasa riang dan gembira.
2. Sang ayah mesti selalu bersama dan senantiasa ber- komunikasi dengan anak-anak.
3. Anak merasakan kasih sayangnya yang tulus dan tanpa pamrih.
4. Anak mampu merasakan perbedaan kehadiran dan ketidakhadirannya.
5. Sang ayah senantiasa berusaha memenuhi berbagai ke- perluan anaknya.
6. Memiliki hubungan yang akrab dengan anak-anak dan dalam rangka itu sang ayah selalu bermain bersama mereka.
7. Selalu memberikan bantuan dan pertolongan manakala sang anak menghadapi kesulitan atau masalah.
8. Menjaga dan memperhatikan keadilan dalam menjatuhkan hukuman atas kesalahan yang dilakukan anak-anak.
9. Anak mampu merasakan bahwa dialah figur ayah yang sebenarnya dan bukan orang asing yang selalu marah dan murka.

Perasaan Anak tentang Kematian

Kematian adalah sebuah kata yang amat menakutkan dan mengerikan bagi yang meyakini bahwa kematian merusak kebahagiaan. Juga, bagi mereka yang tak meyakini adanya kehidupan lain setelah kehidupan dunia ini. Sedikit sekali manusia yang―tatkala mendengar masalah kematian―tidak merasa takut dan ngeri. Sedikit pula orang yang semenjak sekarang telah mempersiapkan bekal bagi kehidupan di alam lain itu dan merasakan bahwa mereka akan mengalami kematian.
Rasa takut akan kematian disebabkan oleh berbagai bayangan dan khayalan manusia terhadap kematian itu sendiri. Jika kita mengetahui bahwa kematian itu tak ubahnya kelahiran bayi dari perut ibunya, atau perpindahan dari alam yang satu ke alam yang lain, dan meyakini dengan benar akan adanya kehidupan yang kekal nan abadi, niscaya rasa takut tersebut akan berkurang.
Begitu pula rasa takut terhadap kematian muncul lantaran kita tak mengetahui tentang kehidupan di alam itu dan bagaimana nasib kita di sana nanti. Mungkin kita mengetahui apa saja yang telah kita tanam di alam ini dan apa saja yang bakal kita tuai nanti. Alhasil, bagi sebagian besar kita, kematian adalah hal yang tak menyenangkan dan mengandungi bahaya. Kita tak menginginkan kematian dan tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi di masa datang. Kita menginginkan kematian semakin lambat, tanpa memperhitungkan apa yang kita lakukan dan apa yang akan terjadi. Kita bahkan tak pernah menyusun perencanaan guna membenahi kehidupan kita dan menutupi berbagai kekurangan yang ada.

Anak dan Masalah Kematian

Anak-anak memiliki persepsi bermacam-macam tentang kematian. Ia mulai memahami makna kematian setelah berumur tiga tahun penuh. Berbagai penelitian dan kajian menunjukkan bahwa sebelum usia tersebut, seorang anak masih belum mampu memahami arti kematian. Di usia ini, seorang anak, dengan jiwa keingintahuannya, selalu berupaya memahami hakikat kematian.
Suasana duka ketika mengantar jenazah, riuh-rendah tangisan dan jeritan orang yang ditinggal mati, dan per- bincangan yang dilakukan dua orang tentang kematian, semuanya menarik perhatian anak untuk lebih mengetahui secara mendalam tentang makna sebenarnya dari kematian. Kesimpulan yang diperolehnya tentang hakikat kematian bergantung pada berbagai faktor, seperti usia, ideologi anggota keluarga, bentuk keterikatan dengan yang meninggal, penyaksian suasana kematian, peristiwa penguburan, dan perbincangan orang-orang dewasa sekaitan dengan masalah itu.
Jika mereka mendengar berita atau pembicaraan orang- orang sekelilingnya berkenaan dengan kematian, maka dengan penuh keingintahuan mereka akan bertanya, apakah kematian itu? Bagaimanakah keadaan orang yang mati itu? Ya, mereka ingin mengetahui dengan segera rahasia di balik kematian itu.
Perasaan yang ada dalam diri anak itu selalu diiringi tanda tanya dan misteri yang tak terpecahkan. Mungkin, ia akan me- rasa sedih karena ayahnya tak lagi dapat berbincang dan bermain dengannya. Bahkan, ia akan menemui jenazah sang ayah dan memaksanya untuk bangun, bangkit, dan berjalan bersamanya. Namun, ia tak menyadari bahwa tangisan dan rintihannya takkan dapat membebaskan ayahnya dari kematian.
Ya, anak kecil secara perlahan akan mulai memahami makna kematian melalui berita tentang kematian orang yang dicintai, penjelasan orang berkenaan dengan kematian, melihat kuburan, mengantar jenazah, peristiwa pemakaman, atau bahkan dari peristiwa kematian ayam dan burung kesayangannya. Namun, ia akan tetap belum mampu memahami masalah kematian tersebut dan takkan dapat melupakan penantian dan harapannya agar yang mati itu bangkit kembali.
Telah kami nyatakan bahwa seorang anak memiliki bayangan yang bermacam-macam tentang masalah kematian. Secara umum, seorang anak sebetulnya mampu mengetahui makna kematian manakala ia mampu memahami arti kehidupan. Yakni, bahwa setiap kehidupan pasti ada akhirnya dan di antaranya adalah kehidupan manusia.
Di usia tiga sampai empat tahun, tatkala menyaksikan peristiwa kematian di tengah keluarganya atau di tempat lain, seorang anak akan merasa takut dan sedih. Di usia tiga sampai lima tahun, ia akan mengira bahwa kematian adalah semacam mimpi dan bahwa orang yang telah meninggal akan terbangun dan hidup kembali. Atau, ia akan mengira ayah atau ibunya yang telah meninggal itu sedang dalam perjalanan jauh dan akan datang kembali. Bagi si anak, penantian itu merupakan harapan yang serius dan pasti.
Menginjak usia tujuh tahun, ia mulai mengetahui arti ke- matian secara lebih realistis. Ia akan memahami bahwa ke-matian akan menimpa semua orang dan dalam hal ini ia lebih mampu mengawasi dan mengendalikan berbagai perasaannya. Di usia delapan sampai sepuluh tahun, seorang anak mengalarni kesulitan untuk membedakan antara jiwa dan raga. Ia tak dapat memahami bahwa ketika seseorang mati, tak terdapat perubahan apapun kecuali jiwanya. Faktor penggerak inilah yang terpisah dari raganya.
Pada usia delapan sampai 10 tahun, perasaan terhadap kematian adalah perasaan yang tak menyenangkan dan getir. Ia masih mengharapkan kedatangan orang yang telah meninggal untuk datang ke rumah dan hidup kembali, meskipun telah mulai memudar. Setelah usia 10 sampai 11 tahun, seorang anak akan merniliki persepsi bahwa kematian merupakan sesuatu yang kasar, tak ada belas kasih, dan tak berperasaan. Lambat laun, anggapan bahwa orang yang telah mati akan hidup kembali mulai menghilang. Ia mulai memiliki keyakinan bahwa orang yang disayanginya takkan kembali lagi.

Rasa Takut terhadap Kematian Diri

Berkenaan dengan dirinya, seorang anak kecil memiliki persepsi bahwa sekarang dirinya takkan mengalami kematian. Pola pemikirannya adalah bahwa kematian takkan meng- hampirinya, atau minimal―sampai berumur enam tahun―ia merasa yakin bahwa dirinya takkan meninggal. Begitu pula, kematian ayah atau ibu bagi dirinya bukan sesuatu yang menakutkan. Seandainya ia merasa sedih, maka itu dikarenakan terjadinya perpisahan atau lantaran orang yang dapat memenuhi keperluannya telah tiada.
Secara perlahan, dengan melihat dan mendengar berbagai peristiwa kematian, ia akan mulai memahami bahwa kematian mungkin akan menghampirinya. Berdasarkan ini, ia merasa akan berada dalam suatu keadaan seakan-akan telah mati terbujur seperti mayat, yang tak mampu berbicara, bekerja, bermain, rnakan, dan minum. Namun, ia masih tetap meragukan kematian dan tak mampu meyakinkan diri bahwa kematian akan menghampiri semua orang, termasuk dirinya. Ia yakin bahwa kematian hanya akan mendatangi anak-anak yang nakal saja.
Usia delapan tahun merupakan usia di mana seorang anak akan mengalami ketakutan akan kematian. Rasa takut ini begitu mencekam, sehingga orang menyebut usia ini dengan “usia ketakutan akan kematian”. Ya, di usia ini, seorang anak amat merasa takut dan gelisah manakala memikirkan kematiannya, kedua orang tua, atau sanak saudaranya. Meskipun menyadari bahwa kematian merupakan sesuatu yang pasti dan memaksa, namun ia masih belum mampu menerimanya dan selalu berupaya untuk menepisnya.

Kematian Orang yang Dicintai

Kematian orang yang dicintai pada saat seorang anak berada pada usia dini, akan sangat menyedihkan hatinya. Bahkan, boleh jadi seorang anak akan merasa putus-asa, gusar, mendendam, dan melakukan berbagai tindakan kasar.
Rasa sesal dan sedih ini, sebagaimana telah disebutkan, amat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pengalaman setiap individu. Semakin erat dan dekat hubungan seorang anak dengan ayah atau ibunya, semakin besar pula kesedihan dan penderitaannya. Kematian ayah terkadang lebih menyedihkan bagi seorang anak ketimbang kematian ibu, sampai-sampai dapat mendorongnya melakukan berbagai tindakan yang membahayakan kehidupannya.
Adakalanya, lantaran kematian orang yang amat dicintai, seorang anak merasa dunianya telah hancur dan usai. Ia tak lagi memiliki sumber kebahagiaan dan kesenangan. Dengan demikian, jika dalam keadaan seperti itu orang tak berusaha menenangkan dan menyembuhkan luka hatinya, maka si anak akan mengalami kelainan jiwa, depresi, bahkan melakukan berbagai tindak kriminal. Tentunya, munculnya hal itu amat bergantung pada sikap dan tindakan orang di sekelilingnya terhadap pribadi sang anak.

Penjelasan tentang Kematian

Misalnya saja, dalam sebuah rumah tangga terjadi peristiwa kematian atau kesyahidan, sementara orang yang meninggal adalah orang yang amat dicintai sang anak, seperti ayah, ibu, atau yang lain. Peristiwa kematian ini akan membuat si anak menjadi tidak tenang dan selalu menangis serta merintih, seraya mengeluh dan rnengharap agar orang yang telah meninggal itu dapat hidup kembali sehingga dapat selalu berada dalam pelukan kasih sayangnya. Bagaimanakah cara kita menjelaskan masalah kematian terhadap anak yang tengah mengalami nasib seperti ini? .
Kita mengetahui bahwa banyak anggota keluarga yang mengalami kesulitan dalam menjelaskan masalah kematian kepada anak-anak. Ini terjadi lantaran tangisan sang anak menyebabkan keluarganya menjadi bingung dan gelisah. Juga, karena si anak sendiri masih belum memiliki kemampuan untuk memahami makna sebenarnya dari kematian.
Oleh karena itu, sebagian anggota keluarga memberikan penjelasan kepada si anak dengan mengatakan bahwa ayahnya tengah bepergian, berada di rumah sakit, pergi bertamu ke rumah seseorang dan dalam beberapa hari lagi akan kembali. Dengan begitu sebenarnya akan terjadi banyak kontradiksi dan berbagai penjelasan yang bertentangan. Semua itu akan membuat si anak terdiam, namun semakin membangkitkan penantian dan harapannya. Si anak akan menghitung hari, kapan belahan hati yang tengah bepergian itu akan kembali. Secara mendadak, mungkin ia akan kembali melontarkan pertanyaan yang sama dan memperoleh berbagai jawaban yang saling bertentangan. Dalam pada itu, si anak akan merasa kecewa, putus asa, dan tak lagi menaruh kepercayaan terhadap orang-orang sekelilingnya dan menganggap mereka sebagai pembohong.

Bagaimanakah Caranya?

Menurut hemat kami, adalah keliru bila kita menutup-nutupi peristiwa kematian itu. Juga, sangat tidak tepat jika kita memberikan jawaban yang tak jelas dan tak pasti terhadap berbagai pertanyaan yang dilontarkan anak-anak. Sebab, semua itu akan semakin membuat si anak menjadi bingung, kalut, dan kacau pikirannya. Bahkan, mungkin ia akan menanti ke- datangan orang yang tak kunjung datang. Semua itu bukan hanya tidak akan menyelesaikan persoalan, namun bahkan akan menimbulkan berbagai persoalan yang baru.
Berkenaan dengan pertanyaan anak-anak, apa yang terjadi pada ayah? Pertama, kita mesti mampu menguasai perasaan dan kegelisahan kita. Kedua, kita jelaskan kenyataan yang ada sesuai dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan si anak. Dalam mempraktikkan kedua cara itu, sangat diperlukan ketabahan dan kesadaran. Jika seseorang tak mampu menguasai diri dan tak mampu menahan isak-tangis dan air matanya, maka si anak akan menjadi semakin bertanya-tanya. Betapa banyak orang yang tatkala mendapatkan pertanyaan dari anaknya, apa yang terjadi pada ayah? Mereka malah meneteskan air-mata dan menangis meraung-raung. Padahal, jika saja menahan diri, mereka akan mampu menjelaskan kepada si anak tentang hakikat peristiwa yang terjadi, sehingga dirinya pun akan mampu menjadikannya sebagai pelajaran dalam mengarungi kehidupan yang amat luas ini.

Tahapan Penjelasan

Tatkala anak bertanya mengenai apa yang terjadi pada ayahnya, maka kita mesti menjawabnya dengan ketegaran hati, “Ayah telah meninggal. Tahukah kamu, apa kematian itu? Kemarilah, saya akan ceritakan kepadamu.” Kita dapat menjelaskan makna kematian kepadanya dalam bentuk kisah. Setiap hari, kita jelaskan bagian demi bagian dari cerita tersebut kepadanya.
1. Pada hari pertama, kita dapat memulainya dengan men- ceritakan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Kita petik sekuntum bunga, lalu kita katakan padanya bahwa bunga tersebut kini telah mati. Bunga itu tak dapat tumbuh membesar lagi, tak dapat mekar lagi. Jika didiamkan selama dua atau tiga hari, maka bunga tersebut akan menjadi layu dan mati. Atau, patahkan ranting sebatang pohon, lalu kita katakan bahwa ranting itu kini telah mati, tak dapat mengeluarkan bunga lagi, dan tak dapat tumbuh ber- kembang lantaran terpisah dari batang pohonnya. Kita katakan, bahwa besok kisah ini akan dilanjutkan.
2. Pada hari kedua, kita dapat berkisah tentang kematian burung-burung. Misalnya saja, kita katakan bahwa burung merpati itu kini telah mati. Ia tak dapat lagi terbang, berjalan, ataupun bergerak. Jika burung ini tetap berada di atas tanah, maka tubuhnya akan membusuk. Besok, cerita ini akan dilanjutkan.
3. Pada hari ketiga, kita mulai bercerita mengenai kematian manusia. Misalnya saja, kita katakan bahwa ia memiliki kakek yang amat menyayanginya. Sang kakek selalu menggendongnya, bermain bersamanya, membelikannya coklat dan kue, namun sekarang telah meninggal. Ia tak dapat lagi berbicara, tak lagi berkunjung, tak lagi makan dan minum. Agar tubuhnya tak mengeluarkan aroma yang tak sedap, orang menguburnya dalam tanah. Kita katakan bahwa ia juga merniliki seorang nenek, tetangga, dan seterusnya. Ceritanya akan dilanjutkan esok.
4. Pada hari keempat, kita berbincang tentang sebab-sebab kematian dalam bahasa yang mampu dimengerti dan dipahami anak-anak. Misalnya saja, kakeknya sakit kemudian meninggal. Anak itu bermain dengan temannya di jalan raya, lalu tertabrak mobil, dan mati. Si fulan berenang di kolam renang. Lantaran tak dapat berenang, ia tenggelam dan mati. Si fulan berkelahi dengan seseorang. Ia kemudian terjatuh dan kepalanya pecah. Karena banyak mengeluarkan darah, ia pun tewas. Besok, cerita ini akan berlanjut. Dengan demikian, kita telah menjelaskan kepadanya sebab-sebab kematian.
5. Pada hari kelima, kita mulai bercerita tentang kematian ayahnya. Kita awali pembicaraan kita dengan sebuah kisah dengan bahasa sederhana. Suatu masa, hiduplah orang yang amat jahat bernama Saddam. Ia selalu berbuat aniaya terhadap masyarakatnya. Ia menyerang negara kita lalu membunuh sebagian dari masyarakat kita serta meng- hancurkan rumah-rumah. Ia juga memusnahkan harta dan kekayaan masyarakat. Orang-orang yang baik budi, melakukan perlawanan terhadapnya dan bala tentaranya. Ayah (sang anak) termasuk orang yang amat bajik dan mulia. Ya, sang ayah telah bertempur melawan pasukan Saddam dan telah mengusir mereka dari wilayah negara kita serta berhasil membunuh orang-orang yang jahat itu. Mereka melepaskan tembakan ke arah sang ayah dan mengenai tubuhnya sehingga meninggal.

Istilah Kematian dan Kesyahidan

Di sini, kita sedang berupaya menenangkan diri sang anak dalam menghadapi peristiwa yang tengah dialaminya. Kita tengah menjelaskan makna kematian dan kesyahidan. Dalam hal ini, kita mesti memperhatikan hal-hal berikut:
1. Dalam menjelaskan semua itu, janganlah kita memberikan penjelasan bahwa kematian merupakan sesuatu yang amat menakutkan dan menyeramkan, sehingga sang anak menjadi tegang dan ketakutan. Sebab, itu akan menimbul- kan berbagai pengaruh negatif yang akan semakin menyulitkan. Dengan bahasa yang mudah dimengerti, jelaskanlah bahwa kematian adalah perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari perut yang satu ke perut yang lain, dan dari dunia yang sempit ke dunia yang lebih luas.
2. Sekalipun dengan bahasa yang sederhana, namun harus dihindari penjelasan yang berbau khurafat, tak masuk akal, dan janggal. Sebab, semua itu akan menimbulkan berbagai pengaruh negatif pada diri anak-anak.
3. Di samping berusaha menenangkan si anak, kita juga mesti menjelaskan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang alamiah. Kita juga mesti memperhatikan agar sang anak tak memiliki anggapan bahwa kesyahidan adalah sesuatu yang tak berarti dan tak ubahnya seperti kematian di tempat tidur. Mestilah dijelaskan bahwa kesyahidan itu merupakan perkara yang akan mendatangkan kebahagiaan, kebanggaan, dan kemuliaan. Ya, sang anak mesti memiliki gambaran bahwa kesyahidan ayahnya merupakan sesuatu yang amat terpuji.
4. Kita tak mesti memaksa anak-anak ikut serta dalam acara pemakaman ayahnya. Atau, kita memaksanya untuk melihat jasad ayahnya, mencium, dan mengucapkan selamat jalan kepadanya. Percayalah, meskipun tak melihat jasad ayahnya, ia takkan mengalami berbagai tekanan jiwa. Sebaliknya, jangan menghalangi dan mencegahnya untuk ikut mengantar jenazah ayahnya ke pemakaman. Kita mesti menuruti keinginannya. Jika wajah sang syahid berlumuran darah atau penuh dengan luka di tubuhnya, maka sebaiknya sang anak tidak melihatnya. Sebab, boleh jadi nantinya akan muncul bayangan yang mengerikan dan menyeramkan tentang kesyahidan ayahnya.
5. Dalam upaya ini, janganlah kita memberikan jawaban melebihi pertanyaan yang diajukan sang anak atau mem- buatnya semakin bersedih dan berduka. Tidak sepatutnya kita mengungkapkan masalah kematian tersebut secara rinci dan dengan penuh kesedihan. Sebab, dampak negatifnya jauh lebih besar ketimbang dampak positif yang kita harapkan.
6. Sekaitan dengan penjelasan tentang kematian dan kesyahidan sang ayah, maka jangan sampai kita membuat anak-anak merasa benci dan muak terhadap jihad dan kesyahidan. Sebab, jihad dan peperangan merupakan keharusan yang diwajibkan syariat.
7. Yang perlu diperhatikan juga adalah menjaga ketenangan jiwa sang anak. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tak boleh menunjukkan rasa sedih atas kematian orang yang kita cintai. Sebab, itu merupakan sesuatu yang alamiah. Juga, agar anak-anak mengetahui bahwa di dalam lingkungan keluarga terdapat hubungan yang mesra dan penuh kasih sayang. Seorang anak memang dapat merasakan berbagai hal, namun kita tak perlu memaksanya untuk mengetahui dan memahami semua itu. Yang terpenting adalah jangan sampai perasaan sedih dan gelisah menjadikannya tak bersemangat untuk bersekolah dan mengarungi kehidupan ini.
8. Dalam usaha menciptakan ketenangan dalam diri anak, perlu kita katakan kepadanya tentang kesyahidan dan kemuliaannya. Seorang syahid adalah tamu Allah dan Dia amat mencintainya melebihi orang lain. Begitu juga kita mesti menjelaskan bahwa kematian merupakan perkara yang akan dialami semua orang. Lambat namun pasti, mereka akan mengalami kematian. Suatu hari, kita pun akan meninggal. Hanya Allah-lah yang senantiasa hidup, sedangkan yang.lain pasti akan mengalami kematian

Pengaruh Kematian

Kematian ayah―yang merupakan topik pembahasan kita―merupakan peristiwa yang amat mengharukan dan menyedihkan bagi seluruh anggota rumah tangga, apalagi anak-anak. Peristiwa itu akan menjadi arnat menyedihkan tatkala anak yang ditinggal berada di usia enam atau tujuh tahun.
Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa dalam sebuah rumah tangga yang harmonis, seorang bayi yang berumur enam bulan pun dapat merasa sedih lantaran tak dapat melihat lagi ayahnya. Satu-satunya cara baginya untuk menghilangkan kesedihan itu adalah dengan menyaksikan ayahnya hidup kembali.
Pengaruh peristiwa tersebut dalam beberapa hal memang terasa amat berat dan dapat menimbulkan berbagai kelainan perilaku dan kejiwaan pada anak-anak. Bctapa banyak anak yang tak dapat melupakan kesedihan akibat ditinggal mati ayahnya. Tatkala ayahnya meninggal dunia, ia merasa kalut dan tak lagi merasa aman. Bahkan ia merasakan bahwa dunia ini tidak lagi menjadi tempat yang aman baginya. Ia tak dapat menjalani kehidupan dengan aman dan tenteram. Memang, kehadiran ibu paling tidak dapat mengurangi rasa kehilangan tersebut. Tentunya dengan syarat, sang ibu mampu memelihara dan memperhatikan cara-cara dalam menghadapi sang anak. Untuk masalah ini, kita memerlukan pembahasan jauh.

Pengaruh Kematian pada Anak Laki-laki dan Perempuan

Kematian atau kesyahidan ayah merupakan kehilangan besar. Terkadang, anak-anak akan merasa menyesal dan berdosa. Mereka merasa bahwa kematian ayahnya itu merupakan akibat dari kenakalan dan ketidakpatuhannya akan perintah-perintahnya. Dalam kondisi seperti ini, si anak akan mengalami guncangan jiwa yang luar biasa sehingga merasa bertanggungjawab atas kehilangan itu.
Untuk memperjelas masalah ini kami kemukakan sebuah contoh. Terkadang, anak yang pernah dipukul atau ditampar ayahnya, hatinya menjadi penuh kebencian dan berharap agar ayahnya segera mati. Bila kemudian kematian itu benar-benar menimpa ayahnya, maka ia menganggapnya sebagai hasil dari keinginannya. Dengan demikian, ia kemudian merasa ber- tanggung jawab atas kematian tersebut. Adakalanya pula, seorang anak merasa bahwa kematian ayahnya merupakan balasan atas berbagai kenakalan dan ketidakpatuhan terhadap perintah ayahnya. Dalam kondisi seperti itu, si anak akan diliputi penyesalan mendalam.
Baik anak laki-laki maupun perempuan merasa sangat kehilangan atas kematian ayahnya. Sebenarnya, pada usia lebih dini, anak perempuan lebih merasa kehilangan ketimbang anak laki-laki. Namun, lantaran hubungan dekatnya dengan sang ibu, ia tak merasa terlalu kesepian. Sedangkan anak laki-laki benar-benar merasa kesepian dan seorang diri, meskipun tidak diperlihatkan secara terang-terangan.
Kesyahidan ayah, bagi anak laki-laki, melahirkan teladan, figur, dan idola. Sementara bagi anak perempuan tidak terlalu demikian. Oleh karena itu, pengaruh yang muncul dari peristiwa tersebut lebih banyak menyentuh anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Betapa banyak anak laki-laki―setelah ditinggal mati ayahnya―mengalami berbagai penderitaan, guncangan jiwa, dan melakukan berbagai tindakan kasar. Bahkan, terkadang malah kehilangan kejantanan dan keberaniannya. Sementara bagi anak perempuan, hanya terbentuk perasaan kehilangan tempat bergantung dan mungkin merasa bahwa kelangsungan hidupnya tengah dalam bahaya.

Ketabahan dalam Berbagai Tingkat Usia

Seorang anak yang kehilangan orang yang dikasihi, akan menanggung beban penderitaan yang teramat berat. Ia membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan keluh- kesahnya dan yang segera memberikan pertolongan untuk meringankan penderitaannya. Namun, perasaan, penderitaan dan beban tersebut tidaklah selalu sama dalam berbagai tingkat-pada usia tertentu mungkin terasa berat dan pada usia lain terasa lebih ringan.
Bagi seorang anak yang masih kecil, belum memahami hakikat rnusibah, dan belum mengerti tentang pelbagai peristiwa yang akan terjadi setelah kematian itu, akan rnerasa bahwa kematian itu bukanlah sesuatu yang begitu berat. Ia mungkin hanya menangis, menjerit, dan meneteskan air mata. Dan itu dilakukannya lantaran adanya tangisan dan jeritan orang lain. Namun bagi anak yang telah rnemiliki kemampuan untuk membeda-bedakan (mumayyiz) atau telah beranjak dewasa, peristiwa kematian ini tentulah rnerupakan beban yang amat berat.
Begitu pula, tingkat kesedihan dan duka tidaklah sama di antara individu, sekalipun memiliki usia yang sama. Sebagian mungkin mampu menanggung beban penderitaan itu―bahkan mampu menyembunyikan perasaan tersebut dari orang lain―sedangkan sebagian yang lain tidak. Ini bergantung pada kecerdasan, ideologi, serta tingkat keterikatan dan hubungannya dengan sang ayah semasa hidupnya. Hanya dalam hitungan bulan, sebagian anak mungkin telah melupakan peristiwa itu dan mulai terikat dengan orang lain sebagai pengganti keterikatannya dengan sang ayah.
Manakala anak memiliki hubungan yang amat dekat dengan ayahnya, maka berita kematiannya akan laksana petir yang menyambar. Menyaksikan peristiwa pemakaman ayahnya akan membuatnya lunglai dan kebahagiaannya menjadi musnah. Ia akan merasa teramat miskin dan tidak memiliki apapun, terlebih bila di rumah tak memiliki orang yang dicintai, dikasihi, dan disayangi.

Mengingat dan Menyebut Nama Ayah

Suasana rumah akan senantiasa hiruk-pikuk bila terdapat seorang anak kecil―berusia dua atau tiga tahun―yang masih belum memahami arti kematian. Lantaran rnemiliki hubungan yang amat dekat dengan ayahnya, ia akan selalu menyebut dan memanggir namanya serta mengharap kedatangannya. Ia akan masuk ke kamar ayahnya dan, tatkala melihat foto ayahnya yang terpampang di dinding, ia akan menunjuk dengan jarinya yang mungil itu dan mengharapkan kedatangannya.
Anak-anak kecil―dalam mengungkapkan rasa sedih dan duka atas kematian ayahnya―akan mengapresiasikannya dalam bentuk kalimat dan gerakan kekanakan. Dengan pelampiasan itu, jiwanya akan sedikit merasa tenang. Umumnya, anak-anak, baik yang pernah melihat ayahnya ataupun yang belum, akan selalu berusaha semampunya untuk membayangkan wajah ayahnya. Sebuah bayangan yang akan memberikan kebahagiaan dalam dirinya.
Anak-anak yang masih kecil, mudah sekali dialihkan perhatiannya. Dengan hanya sebuah permen, kue, atau mainan, mereka akan melupakan peristiwa yang tengah terjadi dan menjadi tenang kernbali. Kesulitan terjadi ketika mereka telah mencapai usia mumayyiz, mendekati puber, atau telah puber. Dalam rentang usia ini, tidak mudah untuk menghilangkan kesedihan dan menenangkan mereka.
Kesulitan ini menjadi semakin besar manakala mereka berada di usia pertumbuhan dan perkembangan serta senantiasa mengharapkan bimbingan dan arahan sang ayah dalam membentuk kepribadiannya. Kondisi lebih sulit lagi dan krusial adalah manakala meninggalnya sang ayah diikuti dengan meninggalnya sang ibu. Atau, meninggalnya sang ibu diikuti dengan meninggalnya sang ayah. Dengan demikian, ia tak memiliki ayah maupun ibu. Ia benar-benar merasa sendirian. Alhasil, kita pasti sangat berduka tatkala melihat kondisi tersebut. Peristiwa ini kemungkinan besar akan menyebabkan sang anak menderita kelainan jiwa.

Memendam Duka

Keyakinan akan hari kebangkitan, catalan amal perbuatan, perhitungan di akhirat, dan kenikmatan yang kekal nan abadi, merupakan perkara yang dapat menenangkan jiwa. Oleh karena itu, banyak orang yang, tatkala menghadapi kematian orang yang dicintainya, akan tetap kuat dan tegar. Sebab, mereka mengetahui bahwa orang yang dicintai itu akan memperoleh limpahan dan curahan rahmat dari Allah Swt. Mereka memahami bahwa kematian adalah kepastian dan setiap orang pasti akan meninggalkan dunia ini dan menghadapi hari pembalasan.
Anak-anak yang lebih besar―remaja atau pemuda―dan mutadayyin (agamis), akan mampu mengendalikan diri sewaktu menghadapi kematian dan kesyahidan. Juga, mereka akan mampu memendam rasa sedih dan duka akibat peristiwa tersebut. Kekuatan seperti itu juga terdapat pada anak-anak yang jenius. Kami mengenal beberapa orang anak yang, demi mengurangi kesedihan ibunya, menahan dan memendam kesedihannya. Ini tentunya bersumber dari kecerdasan dan kematangan berpikirnya.
Dalam keadaan tertentu, bisa saja di awal peristiwa kesyahidan, sang anak merasakan kebahagiaan. Namun, di kemudian hari, ketika telah memiliki pengetahuan tentang rahasia kehidupan dan kematian serta adanya larangan dari orang-orang untuk tidak menangis dan meneteskan air mata, ia pun tak mampu lagi menahan tangis dan kesedihannya. Sebenarnya, bila kita mampu menjelaskan kepada anak-anak masalah kematian, maka sedikit banyak ia akan memperoleh ketenangan. Paling tidak, ia akan mampu menahan dan menyembunyikan rasa sedih dan duka-laranya.
Perlu kita perhatikan, bahwa diam dan tenangnya seorang anak dalam menghadapi kematian bukan berarti benar-benar dalam keadaan tenang atau mampu menyembunyikan rasa sedih dan duka hatinya. Boleh jadi, lantaran beratnya kesedihan dan derita yang ditanggung, ia menjadi tegang sehingga tak mampu lagi menangis dan meneteskan air mata. Dalam kondisi semacam ini, kita mesti segera menolongnya. Manakala ia mampu menangis dan meneteskan air mata, maka itu sangat bermanfaat baginya. Ya, jangan sampai ia terus menahan tangis dan tetes air matanya.

Pengaruh pada Sikap dan Perbuatan

Dalam pembahasan mendatang, kami akan menguraikan secara lebih luas berbagai pengaruh yang muncul akibat kematian ayah dan ibu. Namun dalam pembahasan ini, kami akan mengemukakannya secara garis besar dan umum.
Pada dasamya, kematian ayah mengakibatkan kesedihan anak dan bahkan terkadang kesedihan itu menghancurkan seluruh kehidupannya. Sebagian anak yang tak mampu memahami arti kematian sang ayah, akan menangis dan menjerit sekuat-kuatnya. Ia akan berharap ayahnya hidup kembali.
Kematian ayah memang terkadang membangkitkan rasa marah dan benci. Peristiwa itu amat mengacaukan pikiran sehingga sulit baginya untuk menutupi perasaannya itu. Ini merupakan sebab bagi munculnya berbagai kelainan, seperti susah tidur, hanyut dalam khayalan dan angan-angan, mimpi dalam keadaan terjaga, dan lain-lain. Kematian adakalanya menyebabkan nafsu makan anak-anak menjadi berkurang, berat badan menurun, sakit lambung, pertumbuhan terhambat, serta kehilangan tenaga sehingga menjadikan aktivitas menjadi terhenti. Ia tak lagi dapat bermain dan bergembira. Terkadang, mereka membayangkan ayah dan ibunya dalam bentuk yang tidak wajar, demi memuaskan kebahagiaan dirinya.
Sebagian besar anak-anak, tatkala ditinggal mati ayahnya, tak mampu mengetahui apa yang akan terjadi dan bagaimana cara menghadapinya. Mereka kehilangan ketenangan hati dan jiwanya. Mereka tidak siap menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Bahkan, jika mendengar ungkapan bela sungkawa, mereka tak mampu memberikan balasan atas pebuatan tersebut secara bajik dan benar.

Upaya Mengurangi Kesedihan

Untuk meringankan rasa sedih, duka, dan gelisah anak, da bermacam-macam cara yang mesti diperhatikan, di antaranya:
1. Memahamkan sang anak tentang masalah kematian dengan menggunakan bahasa yang mudah dicerna.
2. Menggunakan cara yang alamiah dalam usaha melenyap- kan rasa sedih dan dukanya, serta mengijinkan mereka menangis dan meluapkan kesedihannya. Tentunya, tangisnya itu tak sampai mengganggu syarafnya.
3. Lebih memberikan perhatian kepada anak pada bulan-bulan pertama kematian dan kesyahidan, dan menggunakan berbagai cara untuk menggembirakannya.
4. Mesti dibersihkan dari benak sang anak berbagai perasaan berdosa, serta yakinkanlah bahwa kematian dan kesyahidan adalah suatu tugas dan akan dialami setiap orang.
5. Jangan menjelaskan kepada anak bahwa kematian itu merupakan balasan atas amal perbuatan. Sebab, ini akan memberikan berbagai pengaruh negatif, sakarang maupun masa yang akan datang, baik terhadap dirinya ataupun orang lain.
6. Mestilah dijelaskan tentang posisi agung para syahid. Ungkapkan berbagai perbuatan baik para syahid. Sebab, ini akan mampu meringankan beban kesedihan dan penderitaan sang anak.
7. Menjadikan salah seorang anggota keluarganya sebagai tempat bersandar, sehingga si anak merasa aman, tenang, dan tenteram. Jangan sampai si anak memiliki perasaan bahwa dirinya dalam keadaan seorang diri.
8. Seorang ibu mesti menjelaskan pada anak-anaknya bahwa dirinya mampu memikul beban dan tugas ayahnya serta takkan membiarkan kehidupan rumah tangganya berada dalam bahaya.