MEREKA adalah para penulis, tetapi bukan demi tujuan
eksis maupun narsis, tidak ingin tenar, apalagi terkenal. Juga bukan
karena bayaran, alias “malaikatan”. Mereka hanya menyuarakan isi hati.
Ya, mereka adalah para komunitas epistoholic.
Mungkin di antara kita masih ada yang belum mengenal istilah tersebut. Epistoholic adalah sebutan bagi orang yang kecanduan menulis di kolom surat pembaca. Di Indonesia, komunitas epistoholic ini didirikan oleh Bambang Haryanto pada 2003. Hingga sekarang, komunitas Epistoholic
Indonesia (EI) tersebar di beberapa kota; Bandung, Batang, Bojonegoro,
Jatisrono, Jombang, Kaliurang, Karanganyar, Kendal, Magelang, Malang,
Purwodadi, Salatiga, Semarang, Solo, Sragen, Yogyakarta, Wonogiri.
Bahkan, Melbourne, Australia, menjadi salah satu markas EI.
Pada dasarnya, menulis adalah salah satu tradisi ilmiah bagi civitas
akademik. Ironinya, hingga sekarang, mahasiswa yang dianggap sebagai
agen perubahan, masih terhitung minim dalam bidang tulis menulis di
media masa. Jika dicermati lebih jauh, banyak sekali media yang
menyediakan kolom-kolom khusus bagi mahasiswa. Kalaupun ada yang belum
percaya diri (PD), kolom suara pembaca bisa menjadi alternatifnya.
Mengapa surat pembaca? Ya, surat pembaca adalah salah satu kolom di
media masa tempat setiap lapisan masyarakat bebas menuliskan dan
menyampaikan unek-uneknya ke hadapan publik, mulai dari petani hingga
profesor sekali pun.
Disadari atau tidak, keberadaan kolom surat pembaca mempunyai manfaat
yang sangat besar bagi perubahan. Sebagaimana yang ditulis oleh Bambang
Haryanto (2006), menurut Emanuel Rosen dalam bukunya The Anatomy of Buzz,
mengutip hasil penelitian lembaga riset Roper Starch sejak tahun
1940-an, bahwa para penulis surat pembaca di AS tergolong sebagai the influential Americans, orang-orang Amerika yang berpengaruh (lihat di: http://episto.blogspot.com/).
Sebagai agen perubahan, tentu kita harus mampu menangkap sinyal positif
keberadaan kolom suara pembaca. Di antaranya demi kemajuan bangsa,
misalnya sebagai media publikasi, ataupun kritik sosial yang membangun.
Sayangnya, hingga kini, masih belum banyak mahasiswa yang mau
memanfaatkan kolom Surat Pembaca ini. Entah mengapa, apakah karena tidak
ada rewardnya, atau merasa remeh jika ada yang bilang, “Ah cemen,
bisanya cuma menulis di kolom surat pembaca!” Padahal, keberadaan kolom
surat pembaca bisa menjadi media efektif untuk berkontribusi, memberi
pencerahan kepada publik demi sebuah perubahan yang nyata.
Pepatah Malaysia mengatakan bahwa perilaku ayam lebih baik dibanding perilaku penyu. Pepatah negeri jiran itu berbunyi, "Jangan
jadi penyu yang bertelur ribuan butir tetapi senyap-senyap, melainkan
jadilah ayam, hanya bertelur sebutir tetapi riuhnya sekampung.”
Pepatah tersebut mengindikasikan bahwa sekecil dan sesederhana apa pun
ide kita, sudah seharusnya kita suarakan melalui media. Sebesar dan
sebagus apa pun ide kita, selama tidak dituangkan dan disuarakan melalui
media, ide tersebut hanyalah pepesan kosong belaka.
Keberadaan kaum epistoholic tentu menjadi inspirasi tersendiri
bagi kita. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa menulis bukan selalu
agar tenar dan terkenal. Menulis adalah panggilan hati untuk menuangkan
pikiran dan gagasan demi sebuah perubahan. Mahasiswa, menulislah!
Jumat, 14 Desember 2012 | Diposting oleh Unknown di 04.30 |
Belajar dari Sosok Epistoholic
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar