Berikan aku seribu orang tua, maka akan kucabut merapi dari akarnya. Dan berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia. – Ir. Soekarno
KALIMAT dari Presiden Indonesia pertama tersebut
mungkin sudah terlalu sering disebutkan dalam berbagai tulisan maupun
acara-acara bertema kepemudaan. Karena terlalu seringnya tersebut, bisa
jadi semua pihak telah setuju bahwa kalimat tersebut menunjukkan betapa
pada dasarnya pemuda berpotensi sangat besar bukan hanya untuk
mempengaruhi diri dan lingkungannya, bahkan juga memberikan pengaruh
besar pada dunia. Sayangnya kalimat sakti itu justru terlalu melenakan,
mengaburkan kenyataan bahwa saat ini pemuda kita, pemuda Indonesia,
sesungguhnya sedang berada pada titik kritis dininabobokan oleh anggapan
bahwa pemuda bisa dengan mudah “mengguncang dunia”. Tetapi jangankan
untuk mengguncang dunia, mempertahankan dirinya sendiri saja belum
mampu. Jangankan untuk menentukan masa depan dunia, yang ada pemuda kita
tanpa sadar telah terlalu jauh terbawa arus.
Tuntutan yang muncul kepada pemuda sebagai pemimpin masa depan kemudian
tidak dapat dijawab dengan baik. Bahkan lebih dari itu, para pemuda kita
mungkin belum sadar beban berat apa yang sedang diarahkan pada mereka.
Hal yang kemudian mereka coba lakukan justru sibuk menikmati masa muda
yang “hanya sekali” dan melupakan masa depan yang dengan pasti menanti
di depan mereka. Parahnya, bukan hanya penyakit lupa kronis yang saat
ini sedang diderita oleh para pemuda kita, moral yang akan sangat mereka
butuhkan sebagai pemimpin di masa depan tidak dapat dimungkiri seolah
telah menjadi barang klise yang sama sekali tidak berharga.
Dan sayangnya, senada dengan hal itu terdapat sekelompok happy selected few
bernama mahasiswa yang hanya menambah panjang daftar calon pemimpin
masa depan yang mengkhawatirkan. Dengan akses besar yang didapatkan oleh
mahasiswa kepada ilmu pengetahuan, mahasiswa justru menjadi kelompok
pertama yang secara sadar menutup mata dari beratnya tanggung jawab
menjadi kelompok berpotensi yang dituntut menjadi bagian penting
masyarakat. Mahasiswa sesungguhnya sadar ada yang harus diperjuangkan
untuk masa depan bangsanya, tetapi ironisnya, mahasiswa tidak mau
repot-repot untuk mengusahakan kepentingan bersama tersebut.
Hedonisme, apatisme, dan anarkisme menjadi stigma baru yang bahkan
disadari oleh mahasiswa itu sendiri telah melabeli dirinya. Kelompok
pertama menjadi kelompok yang sama persis dengan pemuda pada umumnya
yang sibuk menikmati masa muda. Kelompok kedua menjadi “mahasiswa
sejati” yang dibutakan oleh orientasi prospek kerja, mencari sebanyak
mungkin celah menjadi profesional tanpa sedikit pun peduli pada masalah
sosial bangsa Indonesia. Kemudian kelompok terakhir memiliki kesadaran
penuh untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Tetapi sayangnya kesadaran
tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran moral untuk beretika, yang ada
justru kelompok ini diselubungi oleh euforia bahwa mahasiswa adalah
pahlawan revolusi, yang ditakuti polisi, yang ditakuti pemerintah, tapi
lupa bahwa pemerintah yang mereka jelek-jelekkan itu sekian tahun
sebelumnya adalah teladan yang saat ini menjadi dasar dari arogansinya.
Secara konseptual, mahasiswa memiliki tiga peran utama yaitu agent of change, iron stock, dan moral force.
Sayangnya ketiganya hanya menjadi simbol arogansi dan bahkan poin
terakhir menjadi sebuah ironi. Kemudian Tri Dharma Perguruan Tinggi
yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat menjadi konsep
usang yang dimaknai terlalu apa adanya. Pendidikan hanya dipahami
sekadar aktivitas mendengarkan ceramah di dalam kelas. Penelitian
mengalami pergeseran makna sehingga berorientasi materi. Dan Pengabdian
Masyarakat direalisasikan dengan community service yang memposisikan masyarakat sebagai penerima bantuan mentah tanpa kesadaran akan pentingnya community development.
Lantas jika sudah terlalu banyak pergeseran makna yang seharusnya ideal
seperti ini, dengan menggantungkan nasib sepenuhnya pada pemuda -
bahkan mahasiswa, sangat mungkin di masa depan kondisi bangsa Indonesia
tidak akan pernah lebih baik dari hari ini.
Karena itu selain sebagai ladang ilmu pengetahuan, universitas
seharusnya juga menjadi rumah pemikiran, laboratorium karya, sekaligus
miniatur kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu tidak akan lagi anggapan
bahwa produk universitas adalah para koruptor. Selain itu mahasiswa
akan lebih mudah untuk menjadi ideal secara pemikiran, nyata dalam
berkarya, dan memiliki kepekaan tinggi terhadap kondisi sosial
kemasyarakatan. Berdasarkan kenyataan hari ini, yakni mahasiswa memiliki
moral yang cukup rapuh, universitas dapat difungsikan sebagai inkubator
yang akan menjaga kerapuhan moral tersebut dan perlahan menguatkannya
agar ketika waktunya tiba; mahasiswa dapat menjadi pemimpin dengan moral
yang cukup untuk membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Proses
inkubasi itu sendiri dapat dimulai pada proses kaderisasi dan
dilanjutkan pada aktivitas politik kampus.
Proses kaderisasi penting karena menjadi turning point
perubahan seorang pemuda dari dunia sekolah ke dunia kampus yang lebih
luas. Dalam tahapan ini seharusnya tumbuh idealisme yang akan membuka
mata mahasiswa baru selebar-lebarnya mengenai realitas sosial yang
terjadi di masyarakat dan menajamkan intuisinya untuk menemukan jalan
keluar dari masalah-masalah yang ada. Selain proses pengenalan kepada
bidang spesialisasinya masing-masing, mahasiswa baru seharusnya
diberikan pemahaman mengenai peran dan fungsi sosialnya, tanggung
jawabnya kepada masyarakat, dan beban menjadi pemimpin masa depan yang
dialamatkan kepadanya.
Tetapi sayangnya, pada tahap ini justru yang seringkali terjadi adalah
bukti ketidakdewasaan universitas beserta mahasiswanya yang tampak dalam
cara orientasi mahasiswa baru. Dengan argumen untuk menumbuhkan
keberanian, kekompakan, dan kepekaan, mahasiswa baru dibiasakan untuk
melawan semua bentuk penindasan dengan cara keras. Tidak sepenuhnya
salah memang, tetapi yang perlu disadari adalah bahwa hasil paling baik
dari proses itu hanyalah mahasiswa yang reaktif terhadap permasalahan
yang sudah klimaks. Sedangkan masalah-masalah sosial seringkali tampak
dalam bentuk yang kurang bisa dikenali oleh mereka yang tidak peka. Maka
jadilah kelompok anarkis, yang menunggu masalah menjadi headline
media massa, untuk turun ke jalan membabi buta menyalahkan pihak-pihak
yang berwenang. Dengan begitu tidak ada inisiatif dan upaya pencegahan
awal, padahal jika sejak awal dikenali gejala-gejalanya, masalah sosial
akan dapat diatasi dengan lebih mudah dan cara yang lebih baik.
Tahap berikutnya adalah aktivitas politik kampus yang seharusnya menjadi
wadah pengembangan berpikir serta pendewasaan politik pada mahasiswa,
meskipun pada kenyataannya yang terjadi adalah gejala awal pemanfaatan
politik dalam mencapai kepentingan pribadi. Untuk itu dibutuhkan peran
universitas dalam memastikan bahwa proses politik yang terjadi berjalan
sehat. Proses ini menjadi proses inti dari inkubasi moral, karena
diharapkan di masa depan ketika menjadi pemimpin mahasiswa telah
terbiasa melakukan politik bermoral. Pada proses ini seharusnya sudah
tidak ada lagi masalah apatisme karena telah diselesaikan pada tahap
kaderisasi. Sehingga universitas bisa fokus mengawal mahasiswanya untuk
berpikir cerdas dan kritis menanggapi masalah sosial yang ada, dan
membentuk mahasiswanya menjadi pemimpin masa depan yang berkualitas.
Jumat, 14 Desember 2012 | Diposting oleh Unknown di 04.37 |
Universitas sebagai Inkubator Moral Pemimpin Masa Depan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar