|
Diposting oleh
Unknown
di
09.55
|
Istilah
moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan.
Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral
itu, seperti:
Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain,
memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara
hak orang lain, dan
Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa
yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya
agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi,
didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan
merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman
bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus
mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung
jawab orang tua dan guru.
Pada masa remaja, laki-laki dan
perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan
formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan
semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan
mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi.
Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan
menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar
pertimbangan.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan
seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika
dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat
potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya
berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman
sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang
boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh
dikerjakan.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan
Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan
judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years
10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral
(1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan
terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan
salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat
fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan
kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya
semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa
mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai
tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan
karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang
didukung oleh hukuman dan otoritas
Tahap 2: Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat
untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan
orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar
(jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat
resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan
secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam
bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk
punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas,
terima kasih atau pun keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri,
tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya
konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan
juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan,
mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut
serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang
terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain
serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak
konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku
mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya,
ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting.
Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan
tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata
melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata
tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri
3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai
dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan,
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada
prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri
dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan
yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual
umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh
masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan
pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah
disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai”
dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan
legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum
berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan
membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi
pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku
persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari
pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan
prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada
komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis.
Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif
kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti
kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal
keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat
terhadap manusia sebagai pribadi individual.
C. Perkembangan Agama pada Remaja
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang
menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama
merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan
keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang
harapan-harapannya.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama
pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams &
Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga
membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat
menstabilkan tingkah laku dan biasanya memberikan penjelasan mengapa dan
untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan
rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama
remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa
awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik.
Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa
remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam
tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap
keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan
agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka
mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin
mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.
Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan
agama selama masa remaja ini.
Salah satu area dari pengaruh
agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun
keanekaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk
menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama
tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat
keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari
pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku
seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan
dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama
berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak
dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran
agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan
mengikuti berbagai upacara agama.
Para ahli umumnya (Zakiah
Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya
perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan
yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun
penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
Sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan)
disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang
beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak
selalu selaras dengan perbuatannya.
Pandangan dalam hal
ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar
berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok
atau bertentangan satu sama lain.
Penghayatan rohaniahnya
cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan
melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan
kepatuhan.
Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan
tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan
hidupnya menjelanh dewasa.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui
proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama
sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih)
dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham
dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai
kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak
remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial
dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan
pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja.
Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis,
melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna
berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan
keputusan-keputusan mereka sendiri.
D. Hubungan antara Perkembangan Moral dan Agama
Agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral seseorang.
Tapi harus diingat bahwa pengertian tentang agama, tidak otomatis sama
dengan bermoral. Betapa banyak orang yang mengerti agama, tapi moralnya
merosot. Dan tidak sedikit pula orang yang tidak mengerti agama sama
sekali, tapi moralnya cukup baik.
Oleh sebab itu, seorang
peneliti ilmu jiwa agama harus mempelajari pula dinamika dan
perkembangan moral, supaya dapat memahami bagaimana peranan agama dalam
moral, dan agama itu dapat menjadi pengendali moral. Kita akan melihat
betapa erat hubungan agama dengan ibadah-ibadah dan moral. Untuk lebih
jelas, dapat kita lihat sangkut paut keyakinan beragama dengan moral
remaja terutama dalam masalah-masalah berikut :
Tuhan sebagai Penolong Moral
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu,
Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi.
Andaikata kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin
mengingkari wujud Allah, atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada suatu
hal yang menghubungkan dengan Allah yaitu kebutuhannya untuk
mengendalikannya moral.
Pengertian Surga dan Neraka.
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat
senang-senang atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang
bagi pikiran pembalasan atau lambing kebahagiaan yang ingin dicapainya
dan terlepas dari kegoncangan remaja yang tidak menyenangkan itu.
Pengertian tentang Malaikat dan Setan.
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan malaikat itu dengan
dirinya,mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan
dorongan jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan dengan malaikat
dengan moral dan keindahannya yang ideal, demikian pula hubungan surga
deengan ketentraman batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka
dengan ketenangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa.
0 komentar:
Posting Komentar