Hal
yg sungguh menyakitkan adl para musuh Islam tersebut berupaya
mengaitkan seruan mereka dgn nilai-nilai Islam. Mereka berargumentasi
bahwa pada zaman Rasulullah kaum hawa juga ikut keluar berjihad
menyertai beliau.
Untuk membantah apa yg mereka katakan dan inginkan lewat argunentasi di atas hendaknya kita memandang beberapa hal berikut ini
Pertama pada zaman kegemilangan itu kepergian wanita ke medan perang
bukan suatu faktor kekuatan penting. Di samping keikutsertaan mereka di
dalam berperang adl atas nama pribadi tidak atas nama kelompok.
Kedua para wanita itu tidak ikut serta keluar ke medan jihad kecuali dgn izin Rasulullah dan atas desakan dari mereka sendiri.
Ketiga keperanan wanita di medan perang disesuaikan dgn kodrat
kewanitaannya. Mereka tidak ikut latihan berkuda sebagaimana yg
dilakukan kaum lelaki juga tidak bersenjatakan pedang atau perisai.
Kecuali krn situasi yg sangat mendesak dan gawat seperti yg dilakukan
oleh Nusaibah binti Ka’b yg membela Rasulullah dgn pedangnya pada perang
Uhud juga sahabat wanita yg lain seperti Rumaisha’ yg dgn golok merobek
perut tiap kaum musyrikin yg melewatinya.
Keempat dan ini yg
terpenting para wanita yg pergi ke medan jihad tidak berangkat kecuali
dgn mahram yg senantiasa menyertainya.
Dari sini jelaslah bahwa
para wanita Islam-sesuai fakta sejarah- tidak ikut serta membentuk
pasukan militer seperti yg dilakukan kaum lelaki di medan jihad. Dan
secara hukum mereka tidak diwajibkan memenuhi panggilan jihad
sebagaimana kaum lelaki. Dan kalau misalnya ikut serta maka keperanannya
di medan jihad adl sebatas kodrat kewanitaannya. Hal ini berdasarkan
hadits Ummu ‘Athiyah
“Aku ikut berperang bersama Nabi sebanyak
tujuh kali aku menggantikan mereka dalam menjaga perbekalan aku buatkaan
mereka makanan aku obati mereka yg terluka dan aku menjaga mereka yg
sakit.”
Membuat makanan mengobati orang terluka dan menjaga
orang sakit adl pekerjaan yg memang sesuai dgn kodrat wanita. Di
masyarakat manapun memang itulah peranan yg seyogyanya di perankan oleh
wanita. Dan perlu digarisbawahi keikutsertaan wanita dalam melakukan
hal-hal di atas dalam suasana perang- hanyalah sunnah tidak wajib.
Pertama pada zaman kegemilangan itu kepergian wanita ke medan perang bukan suatu faktor kekuatan penting. Di samping keikutsertaan mereka di dalam berperang adl atas nama pribadi tidak atas nama kelompok.
Kedua para wanita itu tidak ikut serta keluar ke medan jihad kecuali dgn izin Rasulullah dan atas desakan dari mereka sendiri.
Ketiga keperanan wanita di medan perang disesuaikan dgn kodrat kewanitaannya. Mereka tidak ikut latihan berkuda sebagaimana yg dilakukan kaum lelaki juga tidak bersenjatakan pedang atau perisai. Kecuali krn situasi yg sangat mendesak dan gawat seperti yg dilakukan oleh Nusaibah binti Ka’b yg membela Rasulullah dgn pedangnya pada perang Uhud juga sahabat wanita yg lain seperti Rumaisha’ yg dgn golok merobek perut tiap kaum musyrikin yg melewatinya.
Keempat dan ini yg terpenting para wanita yg pergi ke medan jihad tidak berangkat kecuali dgn mahram yg senantiasa menyertainya.
Dari sini jelaslah bahwa para wanita Islam-sesuai fakta sejarah- tidak ikut serta membentuk pasukan militer seperti yg dilakukan kaum lelaki di medan jihad. Dan secara hukum mereka tidak diwajibkan memenuhi panggilan jihad sebagaimana kaum lelaki. Dan kalau misalnya ikut serta maka keperanannya di medan jihad adl sebatas kodrat kewanitaannya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah
“Aku ikut berperang bersama Nabi sebanyak tujuh kali aku menggantikan mereka dalam menjaga perbekalan aku buatkaan mereka makanan aku obati mereka yg terluka dan aku menjaga mereka yg sakit.”
Membuat makanan mengobati orang terluka dan menjaga orang sakit adl pekerjaan yg memang sesuai dgn kodrat wanita. Di masyarakat manapun memang itulah peranan yg seyogyanya di perankan oleh wanita. Dan perlu digarisbawahi keikutsertaan wanita dalam melakukan hal-hal di atas dalam suasana perang- hanyalah sunnah tidak wajib.
0 komentar:
Posting Komentar