IBRAHIM DATUAK SANGGUNO DIRAJO
mungkin
sebuah nama yang tak asing lagi bagi para pencinta kebudayaan
Minangkabau. Namnya menjadi tenar berkat karya-karya tulisnya di bidang
adat dan budaya Minangkabau. Dua bukunya, Kitab Tjoerai Paparan ‘Adat Lembaga ‘Alam Minangkabau (Fort de Kock: Agam, 1919) dan Moestiko ‘Adat ’Alam Minangkabau (Weltevreden: Balai Poestaka, 1920 [seri no. 277]) telah dicetak berulang kali.
Bukunya yang lain: Hikajat Tjindoer Mata (Fort de Kock: Merapi, 1923), Kitab Peratoeran Hoekoem ‘Adat Minangkabau (Fort de Kock: Lie, 1924), Kitab Soal Djawab tantangan ‘Adat Minangkabau (Beladjar ‘Adat dengan Tidak Bergoeroe) (Fort de Kock: Lie, 1927) dan Papatah Minangkabau (Fort de Kock: Merapi, 1928). Beliau menerbitkan pula satu berkala yang berjudul Koempoelan ‘Adat Minangkabau (edisi 1, 27 Mei 1935).
Ibrahim pernah berpolemik dengan Haji Rasul (Ayah Buya Hamka). Rupanya bukunya, Kitab Tjoerai Paparan, dikritik oleh Haji Rasul (Abd al-Karīm b. Muḥammad Amr Allāh al-Dānawī) dalam bukunya, Pertimbangan “Adat Lembaga Orang” Alam Minangkabau: Sjarah (Kenjataan) bagi Tjoerrai Paparan “Adat Lembaga” Alam Minangkabau jang Dikarangkan oléh Ankoe Datoeʹ Sanggoeno Diradjo
(Fort de Kock: Lie 1921). Kala itu semangat berpolemik di kalangan
intelektual Minangkabau dari berbagai ideologi sedang marak. Ibrahim
membalas kritikan Haji Rasul dengan menerbitkan sebuah buku yang
berjudul Kitab Pertjatoeran ‘Adat Lembaga ‘Alam Minangkabau; Akan Pelawan Noot E.H. Rasoel gl. H. Abdul Karim Amaroellah, Danau (Fort de Kock: Agam, 1923).
Informasi dari berbagai sumber (Abraham Ilyas, Arman Bahar, Armen
Zulkarnain, Aslim Nurhasan, Nursyah Kartakusuma, dan Zalmahdi melalui
milis rantau-net) menyebutkan bahwa Ibrahim Datuak Sangguno Dirajo yang bersuku Kutianyie
lahir di Sunggayang, Tanah Datar, tahun 1858. Ibrahim mendapat
pendidikan di Government School di Batusangkar dan tamat tahun 1868. Ia
pernah mondok dengan seorang dokter sehingga ia memperoleh pengetahuan
medis yang dimanfaatkannya untuk menolong penduduk Batusangkar dan
sekitarnya yang terjangkit penyakit cacar. Sebagai imbalan atas jasanya
itu, pada tahun 1910 Ibrahim menerima penghargaan dan uang tunai
sebesar 122 Gulden dari Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1870 Ibrahim
diangkat menjadi jurutulis Tuan Titah di Sungai Tarab. Kesempatan itu
dimanfaatkan oleh Ibrahim untuk memperdalam pengetahuannya mengenai
adat dan kebudayaan Minangkabau. Ia mengkodifikasikan adat dan
kebudayaan Minangkabau yang bersifat lisan itu ke dalam bentuk tulisan.
Hasilnya adalah sejumlah buku yang telah disebutkan di atas. Pada
tahun 1913 Ibrahim dilewakan menjadi pemuncak dalam kaumnya dengan gelar Datoek Sanggoeno Diradjo.
Foto Ibrahim yang kami tampilkan ini dibuat sekitar tahun 1923.
Cukup gagah dan berwibawa kelihatannya Datuk kita ini dalam pakaian
kebesarannya. Tongkatnya tentu melambangkan fungsi seorang datuak yang
akan dipatungkek oleh anak-kemenakannya di siang hari dan dipasuluah di malam hari.
Ibrahim meninggal di Sunggayang pada tahun 1949. Almarhum adalah salah satu contoh terbaik dari educated
penghulu di Minangkabau. Atas jasa-jasanya dalam merintis
pengkodifikasian adat dan budaya Minangkabau secara tertulis, pada 17
Agutus 1970 Pemda Sumatra Barat menganugerahi Ibrahim Datuak Sangguno
Dirajo penghargaan sebagai Pembina adat Minangkabau. Bagi para datuak di
zaman kini, yang masih saja belum banyak yang suka menulis, Ibrahim
Datuak Sangguno Dirajo adalah sebuah sentilan sekaligus tamsil.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Datuak Sangguno Dirajo, Hikajat Tjindoer Mata. Fort de Kock: Merapi, 1923: di muka hlm. 174).
Rabu, 10 Oktober 2012 | Diposting oleh Unknown di 02.37 |
Minang Saisuak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar